Pada bagian awal telah kita bicarakan bahwa
iklim merupakan rata-rata kondisi cuaca tahunan yang meliputi wilayah
relatif luas. Untuk mengetahui tipe iklim suatu tempat, diperlukan
rata-rata data cuaca tahunan seperti suhu, kelembapan udara, pola angin,
dan curah hujan minimal 10–30 tahun. Selain data cuaca, indikasi
lain yang dapat dijadikan salah satu penentu tipe iklim adalah
vegetasi alam (tetumbuhan) yang mendominasi suatu daerah, misalnya
hutan tropis, hutan gugur daun, atau vegetasi konifer (hutan
berdaun jarum).
Banyak para ahli ilmu cuaca dan iklim yang
mencoba membuat klasifikasi iklim dengan berbagai dasar dan keperluan.
Tiga orang di antara para ahli tersebut adalah Wladimir Koppen,
Schmidt- Ferguson, dan Junghuhn.
1. Iklim Matahari
Sistem penggolongan iklim Matahari didasarkan
atas gerakan semu tahunan Matahari antara lintang 23½°LU–23½°LS.
Daerahdaerah yang terletak di antara garis lintang tersebut
menerima intensitas penyinaran Matahari yang maksimal, sehingga rata-rata suhu
udara harian dan tahunannya tinggi. Adapun wilayah-wilayah lainnya
mendapat penyinaran Matahari secara bervariasi. Oleh karena itu, dalam
sistem klasifikasi iklim Matahari, posisi lintang suatu tempat sangat
menentukan tipe iklimnya.
Iklim Matahari disebut juga iklim pasti karena
letak garis lintang sudah pasti tidak berubah-ubah. Iklim Matahari
merupakan iklim yang penentuannya berdasarkan banyaknya sinar Matahari
yang diterima oleh Bumi. Daerah yang paling banyak mendapatkan sinar
panas Matahari adalah daerah yang terletak antara 0°–23,5°LU dan
0°–23,5°LS. Dengan adanya gerak semu Matahari, daerah ini mendapat panas
yang tinggi sepanjang tahun. Daerah yang letaknya semakin jauh dari
katulistiwa mendapatkan panas Matahari yang semakin sedikit. Oleh karena
itu, semakin tinggi garis lintang, daerah tersebut semakin dingin. Daerah
iklim Matahari terbagi atas:
a. iklim tropis (panas), antara 23,5°LU–23,5°LS;
b. iklim subtropis (daerah transisi), antara
23,5°LU–40°LU dan 23,5°LS–40°LS;
c. iklim sedang, antara 40°LU–66,5°LU dan
40°LS–66,5°LS;
d. iklim dingin (kutub), antara 66,5°LU–90°LU
dan 66,5°LU–90°LU.
2. Iklim Koppen
Seorang ahli klimatologi dari Universitas Graz
Austria, Wladimir Koppen (1918) mencoba membuat sistem peng golongan iklim
dunia berdasarkan unsur-unsur cuaca, meliputi intensitas, curah
hujan, suhu, dan kelembapan. Klasifikasi iklim Koppen
menggunakan sistem huruf.
Huruf pertama dalam sistem klasifikasi iklim
Koppen terdiri atas 5 huruf kapital yang menunjukkan karakter suhu atau
curah hujan. Kelima jenis iklim tersebut adalah sebagai berikut.
a. Iklim A (Iklim tropis), ditandai
dengan rata-rata suhu bulan terdingin masih lebih dari 18°C. Adapun
rata-rata kelembapan udara senantiasa tinggi.
b. Iklim B (Iklim arid atau kering),
ditandai dengan rata-rata proses penguapan air selalu tinggi dibandingkan
dengan curah hujan yang jatuh, sehingga tidak ada kelebihan air tanah
dan tidak ada sungai yang mengalir secara permanen.
c. Iklim C (Iklim sedang hangat atau
mesothermal), ditandai dengan rata-rata suhu bulan terdingin adalah di
atas -3°C, namun kurang dari 18°C. Minimal ada satu bulan yang melebihi
rata-rata suhu di atas 10°C. Iklim C ditandai dengan adanya
empat musim (spring, summer, autumn, dan winter).
d. Iklim D (Iklim salju atau mikrothermal),
ditandai dengan rata-rata suhu bulan terdingin adalah kurang dari –3°C.
e. Iklim E (Iklim es atau salju abadi),
ditandai dengan rata-rata suhu bulan terpanas kurang dari 10°C. Di kawasan
iklim E tidak terdapat musim panas yang jelas.
Huruf kedua menunjukkan tingkat kelembapan,
tingkat kekeringan, atau kebekuan wilayah. Untuk tipe iklim A, C, dan
D huruf keduanya antara lain:
a. huruf f menunjukkan lembap, ditandai dengan
curah hujan cukup setiap bulan dan tidak terdapat musim kering;
b. huruf w menandai periode musim kering jatuh
pada musim dingin (winter);
c. huruf s menandai periode musim kering jatuh
pada musim panas (summer);
d. huruf m menunjukkan muson, ditandai dengan
adanya musim kering yang jelas walaupun periodenya pendek.
Khusus untuk tipe iklim B, huruf keduanya
adalah:
a. huruf s (steppa atau semi arid), ditandai
dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 380 mm - 760 mm, dan
b. huruf w (gurun atau arid), ditandai dengan
rata-rata curah hujan tahunan kurang dari 250 mm.
Khusus untuk tipe iklim E, huruf keduanya
adalah:
a. huruf t artinya tundra;
b. huruf f artinya salju abadi (senantiasa
tertutup es);
c. huruf h artinya iklim salju pegunungan
tinggi.
Kombinasi dari kedua kelompok huruf dalam
sistem penggolongan iklim Koppen adalah sebagai berikut.
a. Af artinya iklim hutan hujan tropis.
b. Aw artinya iklim savana tropis.
c. Am artinya pertengahan antara iklim hutan
hujan tropis dan savana.
d. BS artinya iklim steppa.
e. BW artinya iklim gurun.
f. Cw artinya iklim mesothermal lembap (iklim
hujan sedang) dengan winter yang kering.
g. Cs artinya iklim mesothermal lembap (iklim
hujan sedang) dengan summer yang kering.
h. Cf artinya iklim mesothermal lembap (iklim
hujan sedang) dan lembap sepanjang tahun.
i. Df artinya iklim mikrothermal lembap (iklim
hutan salju dingin) dan lembap sepanjang tahun.
j. Dw artinya iklim mikrothermal lembap (iklim
hutan salju dingin) dengan winter yang kering.
k. ET artinya iklim tundra.
l. EF artinya iklim kutub (senantiasa beku).
m. EH artinya iklim salju pegunungan tinggi.
3. Iklim
Schmidt-Ferguson
Khusus untuk keperluan dalam bidang pertanian
dan perkebunan, Schmidt dan Ferguson membuat penggolongan
iklim khusus daerah tropis. Dasar pengklasifikasian iklim ini adalah
jumlah curah hujan yang jatuh setiap bulan sehingga diketahui rata-rata bulan
basah, lembap, dan bulan kering.
Bulan kering adalah bulan-bulan yang memiliki
tebal curah hujan kurang dari 60 mm, bulan lembap adalah bulan-bulan
yang memiliki tebal curah hujan antara 60 mm–100 mm. Bulan
basah adalah bulan-bulan yang memiliki tebal curah hujan lebih dari
100 mm.
Seperti halnya klasifikasi iklim menurut
Vladimir Koppen, sistem klasifikasi penggolongan iklim menurut
Schmidt-Ferguson menggunakan sistem huruf yang didasarkan atas nilai Q,
yaitu persentase perbandingan rata-rata jumlah bulan basah dan
bulan kering. Untuk menentukan tipe iklim Schmidt-Ferguson
digunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan :
Q = perbandingan bulan kering dan bulan basah
(%)
Md = mean (rata-rata) bulan kering, yaitu
perbandingan antara jumlah bulan kering dibagi dengan jumlah tahun pengamatan
Mw = mean (rata-rata) bulan basah, yaitu
perbandingan antara jumlah bulan basah dibagi dengan jumlah tahun
pengamatan
Ketentuan dari sistem klasifikasi iklim
Schmidt-Ferguson adalah sebagai berikut.
1. Tipe Iklim A (sangat basah), jika nilai Q
antara 0%–14,33%.
2. Tipe Iklim B (basah), jika nilai Q antara
14,33%–33,3%.
3. Tipe Iklim C (agak basah), jika nilai Q
antara 33,3%–60%.
4. Tipe Iklim D (sedang), jika nilai Q antara
60%–100%.
5. Tipe Iklim E (agak kering), jika nilai Q
antara 100%–167%.
6. Tipe Iklim F (kering), jika nilai Q antara
167%–300%.
7. Tipe Iklim G (sangat kering), jika nilai Q
antara 300%–700%.
8. Tipe Iklim H (kering sangat ekstrim), jika
nilai Q lebih dari 700%.
4. Iklim Junghuhn
Seperti halnya Schmidt dan Ferguson, untuk
keperluan pola pembudidayaan tanaman perkebunan, seperti tanaman teh,
kopi, dan kina, seorang ahli Botani dari Belanda bernama Junghuhn
membuat penggolongan iklim khususnya di negara Indonesia terutama
di Pulau Jawa berdasarkan pada garis ketinggian. Indikasi tipe
iklim adalah jenis tumbuhan yang cocok hidup pada suatu
kawasan. Junghuhn membagi lima wilayah iklim berdasarkan
ketinggian tempat di atas permukaan laut sebagai berikut ini.
a. Zone Iklim Panas, antara ketinggian
0–700 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata tahunan di atas
22 °C. Daerah ini sangat cocok untuk ditanami padi, jagung, tebu,
dan kelapa.
b. Zone Iklim Sedang, antara ketinggian
700–1.500 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata tahunan
antara 15 °C–22 °C. Daerah ini sangat cocok untuk ditanami
komoditas perkebunan teh, karet, kopi, dan kina.
c. Zone Iklim Sejuk, antara ketinggian
1.500–2.500 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata tahunan
antara 11 °C–15 °C. Daerah ini sangat cocok untuk ditanami
komoditas hortikultur seperti sayuran, bunga-bungaan, dan beberapa
jenis buah-buahan.
d. Zone Iklim Dingin, antara ketinggian
2.500–4.000 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata tahunan
kurang dari 11 °C. Tumbuhan yang masih mampu bertahan adalah
lumut dan beberapa jenis rumput.
e. Zone Iklim Salju Tropis, pada
ketinggian lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut.
Geografia :
Suatu teknik baru yang sangat menarik untuk
menelaah iklim masa lalu adalah pemakaian suatu alat yang disebut “termometer
geologi”, yang dikembangkan ahli kimia bangsa Amerika bernama
Harold C. Vrey dari universitas Chicago. Teknik ini didasarkan pada
analisis isotop oksigen. (Sumber: Ilmu Pengetahuan Populer, 2000)
Geografia :
Penyebaran tumbuh-tumbuhan pada zone panas
adalah padi, kelapa, kelapa sawit, jagung, tebu, kopi, dan perkebunan
karet (Havea braziliensis). Batas produktif untuk karet kurang
lebih 700 meter di atas permukaan laut. Pada zone sedang sejuk,
umumnya mulai adanya lahan yang cocok untuk perkebunan teh (Tea
assamica dan Tea Cinica) dan perkebunan kina (Cinchonna). Pertanian
hortikultura adalah kol, kacang, tomat, kentang, dan cabe. Zona
dingin masih ditumbuhi jenis rumput alpina, rhododendrom, dan lumut.
Zone dingin pada ketinggian 3500 atau 4400 meter dpl, sering tertutup
oleh salju seperti Puncak Jayawijaya, Papua. (Sumber: Meteorologi dan
Klimatologi, 1995)
E. Kondisi Iklim
Indonesia
Secara umum, Indonesia berada pada zone iklim
tropis karena posisi lintangnya yang terletak antara 6 °LU–11 °LS. Namun
karena adanya berbagai faktor geografis, pola iklim negara Indonesia
memiliki karakteristik tersendiri. Beberapa faktor yang mem pengaruhi pola
iklim Indonesia antara lain sebagai berikut.
- Letak wilayah Indonesia di sekitar ekuator mengakibatkan ratarata suhu tahunan senantiasa tinggi (suhu bulan terdingin masih di atas 18 °C), karena penyinaran Matahari senantiasa tegak.
- Letak kepulauan Indonesia di sekitar ekuator mengakibatkan sebagian besar wilayahnya berada pada kawasan angin tenang (doldrum) sehingga terbebas dari bencana akibat badai tropis (siklon).
- Bentuk wilayah Indonesia berupa kepulauan yang dikelilingi laut
- mengakibatkan rata-rata kelembapan udara tinggi, bahkan pada
- musim kemaraupun kelembapan relatifnya masih di atas 70%–80%.
- Posisi negara Indonesia yang diapit oleh samudra dan benua mengakibatkan pola iklim Indonesia dipengaruhi sirkulasi angin muson yang berembus dari benua Asia atau Australia.
1. Pola Suhu Indonesia
Kondisi suhu udara di atas kepulauan Indonesia
senantiasa berkisar sepanjang tahun rata-rata di atas 18°C. Suhu udara
harian biasanya mencapai puncaknya sekitar pukul 14.00–15.00, sedangkan
suhu terendah biasanya sekitar pukul 05.00–06.00. Selain itu, rata-rata
suhu harian dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian.
2. Pola Curah Hujan
Indonesia
Curah hujan di wilayah Indonesia berbeda-beda di
berbagai tempat. Terdapat daerah-daerah yang memiliki curah hujan sangat
tinggi, namun ada pula yang relatif rendah. Secara umum, rata-rata
curah hujan kawasan Indonesia bagian barat lebih tinggi
dibandingkan dengan bagian tengah dan timur.
Oleh karena posisi lintang Indonesia terletak di
sekitar ekuator, pola curah hujan di atas wilayah Indonesia dipengaruhi
oleh pergeseran Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT). Bulanbulan yang
memiliki curah hujan terbanyak biasanya sesuai dengan posisi DKAT. Sebagai
contoh, wilayah Pulau Jawa dilalui oleh garis DKAT sekitar Januari dan
Februari. Pada bulan-bulan inilah curah hujan Pulau Jawa mencapai titik
tertinggi. Adapun pengaruh DKAT adalah di wilayah tersebut massa udara
naik secara vertikal ke atmosfer sehingga banyak membentuk awan dan
mengakibatkan turunnya hujan zenithal atau hujan konveksional.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !